RSS

CERITA RAKYAT

Asal Mula Kota Cianjur

Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun.

Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.

Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut.

Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.

Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.

Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.

Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.

Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!”

Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.

Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.

Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru.

Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran.

Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.

———————————————————————————————————————–

Cindua Mato (Cerita dari Sumatera Barat)

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Tiongkok dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.

Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.

Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.

Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kimpoi untuk Puti Bungsu.

Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.

Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkimpoian yang hendak dilangsungkan.

Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkimpoian yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.

Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.

Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.

Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.

Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkimpoian antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkimpoian kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.

Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.

Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.

Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.

Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.

Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.

Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.

Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang Alam.

Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkimpoiannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.

———————————————————————————————————————–

Mandangin (Cerita dari Kalimantan Tengah)

Di sebuah tempat di daerah Tumbang Manjul tepatnya kurang lebih 43 kilo meter dari Desa Tumbang judul Manjul terdapat mitos tentang sebuah kerajaan makhluk baik.

Konon diceritakan bahwa di Sungai Mandaham desa Tumbang Manjul terdapat gaib yaitu Perek Rango yang dikuasai oleh titisan dari dewa angin.

Pada jaman dahulu sebuah hutan belantara yang tak jauh dari muara Sungai Mandaham hiduplah sepasang suami istri yaitu nyai Rangkas dan Sangkajang.

Nyai Rangkas adalah keturunan dari makhluk gaib yang tinggal di kawasan Bukit Kejayah namun karena ia jatuh cinta dan kimpoi dengan Sakajang keturunan manusia biasa maka ia diusir dari Kerajaan Kejayah. Demi suami tercintanya Sakajang Nyai Rangkas rela meninggalkan keluarganya hingga akhirnya mereka tinggal di hutan dekat muara Sungai Mandaham. Karena saling mencintai hidup pasangan suami istri itu sangat rukun bahagia. Dalam kebersamaan mereka selalu saling membantu dan saling melengkapi kekurangan satu sama lainnya.

Setelah sekian lama bersama akhirnya mereka menyadari bahwa ada yang kurang dari kebahagiaan yang telah mereka nikmati selama ini, karena sudah sekian lama mereka hidup bersama namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai keturunan. Untuk memperoleh keturunan pasangan suami istri itu rela melakukan apa saja, sudah berbagai macam ramuan mereka gunakan namun belum juga dikarunia seorang anak sampai pada suatu malam Nyai Rangkas bermimpi ia akan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun untuk memperolehnya ia harus melakukan pada malam bulan purnama, dan ritual pertapaan itu dilakukan di sebuah batu besar di tepi Sungai Mendahan sebelah hulu.

Malam berganti fajar Nyai Rangkas terjaga dari mimpi. Kemudian ia bangun dan keluar dari gubugnya untuk melihat keadaan sekeliling rumah mereka kemudian ia masuk kembali dan duduk di samping suaminya sambil memikirkan mimpinya mendapat keturunan. Tak lama kemudian suaminya bangun dan iapun menghampiri suaminya untuk menceritakan perihal tentang mimpinya itu kepada sang suami tercinta, dan sang suami pun mendengarkan dengan baik cerita istrinya. Namun setelah mendengar cerita dan istrinya, Sakajang merasa resah dan kebingungan menentukan sikap. Di satu sisi ia ingin sekali melihat istrinya bahagia dengan mendapatkan keturunan yang dititiskan oleh dewa angin namun di sisi lain ia tidak tega jika harus membiarkan istrinya sendiri di hutan selama sembilan hari sembilan malam dan hatinyapun tidak ingin berpisah dengan istri tercintanya. Walaupun hanya dalam waktu sebentar. Sebaliknya Nyai Rangkas ingin sekali melaksanakan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya, ia merasa sangat yakin kalau ia menjalankan pertapaan tersebut.

Namun sayang suami Nyai Rangkas tidak mengijinkannya untuk pergi bertapa meski ia sudah berkai-kali memohon agar suaminya memberikan ijin sampai pada suatu malam dimana pada malam itu merupakan bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu oleh Nyai Rangkas, ia pergi diam-diam dari sisi suaminya yang sedang tidur lelap. Dengan langkah mengendap-endap Nyai Rangkas pergi keluar meninggalkan suaminya menuju hutan dengan menyusuri tepi sungai Mandahan dan untuk mencari batu besar sebagai tempat melakukan ritual pertapaan seperti yang ditunjukkan dalam mimpinya. Karena pada malam itu cahaya bulan terang sekali sehingga Nyai Rangkas tidak mengalami banyak kesulitan dalam perjalanan, sampai akhirnya ia menemukan batu besar seperti yang ada dalam mimpinya.

Setibanya ditempa tujuan Nyai Rangkas mengelilingi batu besar tersebut untuk mencari jalan naik menoleh ke kiri dan tekanan serta sesekali membalikkan badan untuk melihat keadaan di sekitarnya. Sesaat ia tempat kebingungan tiba-tiba terdengar suara seruan “Nyai Rangkas jika kau ingin mendapatkan seorang anak dari titisanku maka lakukanlah ritual pertapaan ditengah batu besar itu selama sembilan hari sembilan malam dengan posisi duduk menghadap arah matahari terbit”.

Mendengar suara seruan itu Nyai Rangkas merasa semakin yakin dengan firasat mimpinya, hingga akhirnya iapun duduk ditengh batu besar tersebut dengan posisi menghadap arah matahari terbit.

Dengan penuh keyakinan Nyai Rangkas melakukan ritual pertapannya, sementara sama suami yang ia tinggalkan panik dan bingung karena melihat isterinya tidak ada di rumah. Ketika hari mulai terang ia mencari isterinya di sekiling rumah tempat mereka tinggal seraya memanggil “Nya, … dimana kamu ! Nyai .. pulanglah ! sang suami terus memanggil nama isterinya sampai matahari hampir terbenam namun ia tak juga menemukan isteri tercinta. Karena hari sudah mulai gelap ia pun kembali pulang ke rumah meski ia sangat khawatir sekali dengan keadaan isterinya.

Malam sudah semakin larut namun Sakajang pun tak mampu memejamkan mata karena memikirkan kemana perginya sang isteri. Ketika melamunkan nasibnya yang sudah ditinggalkan sang isteri tercinta tiba-tiba sekarang teringat akan mimpi isterinya dan keringinannya untuk pergi bertapa mencari keturunan…..

Semalaman Sakajang tak bisa tidur dan pagi-pagi ia pergi ke hutan untuk mencari isterinya. Ia menelusuri hutan tepi sungai mandahan namun anehnya ia tidak menemukan tempat seperti yang diceritakan istrinya, meski demikian ia tetap tidak putus asa sampai akhirnya ia berjalan di sebuah rawa dan bertemu dengan seekor serigala yang sangat buas. Meski demikian Sakajang tetap tegar menghadapinya. Langkah demi langkah serigala buas itu mendekati Sekajang dengan cakar dan taringnya yang panjang seolah-olah siap menerkam hingga akhirnya terjadi perkelahian antara Sekajang dan serigala buas itu. Mereka saling bergelut di tanah rawa yang berlumpur .

Dalam perkelahian itu Sakajang terluka dan jatuh terkapar di atas lumpur sehingga dengan mudah serigala buas itu menerkamnya kembali dan menancapkan taringnya pada bagian tubuh Sakajang hingga akhirnya tewas dan menjadi santapan serigala yang kelaparan tadi. Alangkah malangnya nasib Sakajang, bertujuan pergi mencari istri tercinta namun di perjalanan menjadi mangsa serigala buas.

Hari demi hari berlalu, ritual pertapaan telah dilakukan oleh Nyai Rangkas dengan sempurna, dan ketika ritual itu selesai tiba-tiba angin bertiup dengan sangat kencang, langit tampak bercahaya kemudian terdengar kembali seruan “Nyai Rangkas sekarang kamu telah mendapatkan yang kamu inginkan, tugas kamu adalah memelihara titisanku itu dengan baik karena suatu saat ia akan menjadi pembawa kedamaian bagi sebuah kerajaan yang sedang dalam kekacauan!”

Mendengar suara seruan tersebut Nyai Rangkas merasa semakin yakin kalau ia telah mengandung seorang anak yang dititiskan oleh dewa angin. Karena ritual pertapaan telah selesai maka Nyai Rangkas pun turun dan meninggalkan batu besar itu dengan hati yang berbunga-bunga. Ia kembali menyusuri tepi sungai dan pulang ke rumah dengan harapan memberikan kejutan untuk suami tercintanya.

Setibanya di rumah Nyai Rangkas melihat keadaan rumah sepi, senyap dan berantakan kemudian ia memanggil-manggil suaminya. Abang … abang … abang ada dimana ? saya ada berita gembira untuk abang ! setelah beberapa kali memanggil suaminya Nyai Rangkas tak jua mendengarkan jawaban dari suaminya. Hingga kemudian Nyai Rangkas keluar dan mencari suaminya di sekitar halaman rumah mereka. Karena suaminya tak ditemukan Nyai Rangkaspun pulang kembali ke rumah. Awalnya ia berpikir kalau suaminya hanya pergi sebentar ke hutan untuk mencari makanan atau berburu. Hari demi hari berlalu, sang suami yang dinanti tak jua datang sementara perut Nyai Rangkas semakin membesar dan harapan berkumpul kembali dengan sang suami tercinta sirna, dan perlahan-lahan merasa kesepian dan kehilangan suaminya Nyai Rangkas memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari suaminya.

Ketika matahari terbit Nyai Rangkas pun berangkat kehutan untuk mencari suaminya dengan membawa bekal seadanya ia bertekad tidak akan pulang tanpa suaminya. Dalam perjalanan menyusuri hutan ia melewati rawa-rawa tempat suaminya tewas diterkam serigala. Saat ia melihat keatas tiba-tiba ada seekor burung hitam menjatuhkan kotorannya iapun merasa kejadian itu pertanda bahwa hal buruk telah terjadi dan seketika pula perasaannya Nyari Rangkas jalan dan tanpa sengaja kakinya tersandung kayu sehingga ia pun terjatuh, dan tanpa sengaja pula tangan Nyai Rangkas tertuju pada sebuah gelang dari batu yang tergeletak di atas tanah, dimana di sekitar gelang tersebut juga terdapat tulang-tulang bangkai manusia. Melihat gelang tersebut Nyai Rangkas berkata dalam hati “Gelang ini adalah milik suamiku, oh dewa apakah yang terjadi pada suamiku” dan kemudian ia berteriak kencang memanggil-manggil suaminya” sekarang …. Suamiku … dimana kamu sekarang !!! karena tak kuasa menahan rasa sedih tubuh Nyai Rangkas gemetar kemudian pingsan.

Tidak tahu datang dari arah mana tiba-tiba datang seorang nenek menghampiri dan membawa Nyai Rangkas ke sebuah Gua. Yang mana gua tersebut tak jauh dari tempat Nyai Rangkas bertapa untuk memohon diberikan seorang anak. Saat sadar Nyai Rangkas merasa heran dan ia tidak tahu dirinya berada dimana. Lalu ia duduk, sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiba-tiba datang seorang nenek tua membawa segelas air untuk Nyai Rangkas seraya mengatakan “sebaliknya Nyai minum air ini dulu agar badan Nyai lebih segar, dan Nyai jangan teralu banyak bergerak karena badan Nyai masih lemah” Nyai Rangkas pun menjawab “Tapi saya sekarang ada dimana ne dan siap nenek sebenarnya ? dari mana nenek mengetahui nama saya” nenek tua itupun menjawab “nenek ditugaskan oleh dewa angin untuk menjaga Nyai dan anak yang ada dalam kandungan Nyai.”

Nyai rangkas masih bingung dengan kejadian-kejadian yang menimpanya sesaat ia tercengang dan teringat akan suaminya, ia merasa menyesal telah meninggalkan suaminya waktu itu. saat Nyai Rangkas merenungi nasibnya, nenek tua itu datang kembali menghampirinya membawa makanan untuk Nyai Rangkas. Kemudian nenek itu mengatakan “sudahlah Nyai, jangan terlalu sedih kau memikirkan kepergian suamimu, karena itu sudah menjadi takdirnya” Nyai Rangkas menjawab “Tapi ne saya sangat mencintainya! Saya tak mampu hidup tanpanya. “Nenek tua itu menjawab lagi “nenek mengerti dengan perasaan nyai! Tapi yang harus Nyai lakukan sekarang adalah memikirkan keadaan anak yang ada dalam kandungan Nyai”……..

Hari terus berganti, Nyai Rangkas terus menjalani hidupnya di gua bersama nenek tua yang diutus oleh dewa angin untuk menjaga ia dan bayinya. Hingga akhirnya Nyai Rangkas melahirkan seorang anak laki-laki yang mana anak tersebut ia beri nama Mandangin. Bersama nenek tua itu Nyai rangkas merawat dan menjaga Mandangin hingga Mandangin tumbuh menjadi seorang anak yang tampan dan baik hati.

Seiring dengan berjalannya waktu Mandangin tumbuh dewasa. Ia tampan, kuat, dan baik hati serta suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, selain itu ia juga sangat berbakti kepada ibunya. Meski memiliki banyak kelebihan mandangin tidak pernah menyombongkan diri dan ia juga tidak pernah mengeluh tidak pernah dalam keadaan serba kekurangan dan tanpa seorang ayah.

Sampai pada suatu hari ketika ia berburu di hutan ia melihat ada sebuah batu besar dan ia merasakan melepas rasa penasarannya mandangin naik keatas batu besar itu. tiba-tiba ia mendengar suara seruan yang ia pun tak tahu suara tersebut datang darimana “Mandangin jika kau ingin mendapatkan kekuatan dan kesaktian, lakukanlah pertapaan di atas batu itu selama satu purnama”, Seketika suara itu menghilang, Mandangin tercengang sesaat kemudian ia pergi meninggalkan batu besar itu dan pulang kembali ke gua dengan membawa hasil buruannya.

Namun sepulangnya dari batu besar itu mandangin tidak berbicara satu katapun kepada ibunya. Wajah dan perilakunya tampak seperti orang kebingungan. Melihat kelakuan Mandangin yang tidak sama seperti hari-hari biasanya Nyai Rangkas mengampiri Mandangin dan bertanya “ada apakah gerangan yang terjadi denganmu anakku ? sepertinya kamu sedang bingung”.

Mendengar pertanyaan ibunya Mandanginpun menceritakan tentang kejadian yang ia alami saat pergi berburu. Mendengar cerita anaknya Nyai Rangkas terdiam. Ia bertanya dalam hati “apakah suara itu adalah suara dewa angin”. Tapi ia mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan mengatakan “mungkin itu hanya halusinasimu saja anakku” Mandangin menjawab mungkin juga ibu”! ia mengiyakan perkataan ibunya meski ia merasa yakin kejadian itu nyata.

Malam semakin larut dan ke adaan sunyi senyap Nyai Rangkas tak bisa tidur karena ia terus memikirkan tentang cerita anaknya. Melihat Nyai Rangkas tidak bisa tidur nenek Kiap menghampirinya dan bertanya “apakah gerangan yang kau pikirkan Nyai ? sampai-sampai kau tak bisa tidur” mendengar pertanyaan nenek Kiap Nyai Rangkas langsung menceritakan kejadian yang dialami oleh Mandangin ketika pergi berburu.

Mendengar cerita itu nenek Kiap berkata kepada Nyai Rangkas “Nyai mungkin sekarang sudah waktunya Nyai membiarkan Mandangin untuk pergi mengembara dan menjalankan takdirnya sebagai pembela kebenaran”. Kemudian Nyai Rangkas bertanya pada nenek Kiap. “Lalu apa yang harus saya lakukan untuk Mandangin Ne” nenek Kiap menjawab “Besok pagi kau siapkan bekal untuk Mandangin dan kau suruh dia pergi mengembara untuk menegakkan kebenaran. Namun sebelum pergi suruh dia bertapa terlebih dahulu selama satu purnama di batu besar seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadanya.

Malam berganti pagi Nyai Rangkas sibuk menyiapkan bekal untuk Mandangin pergi mengembara. Ketik matahari naik dari ufuk timur Nyai Rangkas menghampiri Mandangin yang baru saja selesai makan. Ia berkata “wahai anakku sekarang kau sudah menjalankan takdirmu. Namun sebelu kau pergi mengembara kau pergi lakukanlah ritual pertapaan seperti yang telah diserukan oleh dewa angin kepadamu agar kamu mendapatkan kesaktian sebagai bekal melindungi diri dan membela kebenaran”. Mandangin menjawab “Tapi bagaimana dengan ibu? Saya tidak tega meninggalkan ibu di sini!”. Mendengar pertanyaan anaknya dengan berat hati Nyai Rangkas mengatakan” sudahlah anakku, jangan kau pikirkan keadaan ibu suatu saat kau pasti akan bertemu lagi dengan ibu”!.

Dengan berat hati pagi itu Nyai Rangkas melepaskan kepergian anaknya tercinta dan mandangin pun pergi meninggalkan gua yang menjadi tempat berteduh selama dalam asuhan ibunya. Dalam perjalanannya menyusuri hutan menuju tempat pertapan tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan cantik turun mandi di sungai Mandahan. Walaupun demikian Mandangin tetap berjalan menuju tempat pertapaan setibanya di atas batu besar ia langsung melakukan pertapaan. Hari demi hari berlalu hingga satu purnama pun terlewati. Ketika ritual pertapaan selesai tiba-tiba terdengar suara petir seolah-olah memecah bumi kemudian diiringi dengan angin yang bertiup sangat kencang dan dahsyat pertanda kesaktian telah diperoleh Mandangin.

Sebelum Mandangin meninggalkan pertapaan terdengar suara seruan “Hai Mandangin hari ini telah aku turunkan kesaktianku padamu, gunakanlah kesaktian itu untuk membela kebenaran”. Sesaat setelah suara seruan hilang Mandangin pergi dan meninggalkan tempat pertapan dan memulai perjalanannya untuk mengembara. Ia terus berjalan menyusuri hutan tepi sungai Mandahan hingga akhirnya ia masuk ke sebuah kampung yang bernama Perek Rango. Kampung itu dikuasai oleh seorang penguasa yang bernama Tuman ia sangat jahat dan kejam serta suka menindas lain.

Di kampung itu tidak ada lagi kedamaian semua penduduk tampak ketakutan ketika melihat Tuman dan gerombolannya. Meski demikian Mandangin tetap berjalan menyusri kampung untuk mencari tempat peristirahatan. Ketika sedang duduk melepas lelah di sebuah pondok kecil, tiba-tiba mandangin melihat seorang gadis berjalan melintasi di hadapannya. Yang mana perempuan itu adalah istri dari Tuman sang penguasa yang kejam. Sesat Mandangin tercengang dan merasa wajah perempuan itu tak asing lagi. Dan ternyata perempuan itu adalah orang yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan ketika ia hendak pergi bertapa……

Angin bertiup sepoi-sepoi udara menjadi semakin sejuk menambah kenikmatan suasana pada sore itu. belum puas melihat suasana tiba-tiba datang gerombolan Tuman yang tampak beringas dan kejam dengan menyeret beberapa warga dan menggotong tiga orang perempuan desa.

Meski sampbil teriak mereka tampak tak berdaya melawan kekuasaan gerombolan tersebut. Melihat keadaan itu Mandangin langsung berdiri dan menghampiri gerombolan itu seraya mengatakan “salah seorang dari gerombolan itu menjawab “Siapa kamu berani-beraninya kamu menantang kami”! Mandangin menjawab “aku adalah Mandangin dan aku tidak suka melihat ketidakadilan”.

Mendengar perkataan Mandangin para gerombolan itu marah dan menghadang Mandangin dengan mandau. Namun Mandangin tidak takut meski ia punya senjata hingga akhirnya perkelahianpun terjadi. Mandangin menghantam gerombolan itu dengan jurus-jurusnya hingga sebagian jatuh terkapar dan terluka karena merasa tak mampu melawan mandangin gerombolan itu pergi dan melaporkan kejadian itu kepada penguasa kampung yaitu si Tuman.

Mendengar cerita itu Tuman marah dan mengambil senjata pusakanya kemudian mencari Mandangin yang berani menantang kekuasaannya dengan diikuti oleh beberapa gerombolannya. Sampai akhirnya ia menemukan Mandangin di sebuah rumah makan.

Tanpa basa-basi Tuman langsung menghadang Mandangin dengan senjata pusakanya. Namun Mandangin tidak menanggapinya hingga akhirnya Tuman memukulnya dan iapun menghela untuk membela diri. Dengan beringas Tuman terus memukul Mandangin. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Toman Mandangin melakukan perlawanan dan perkalahian terjadi dengan sangat sengit.

Mereka saling adu kekuatan sihir hingga akhirnya Tuman kehabisan energi karena terkena pukulan maut Mandangin. Ketika Tuman tak berdaya tiba-tiba datang seorang perempuan menikamnya dari belakang dengan menggunakan sebuah belati. Dan ternyata perempuan itu adalah korban keserakahan dan nafsu birahi Tuman. Saat melihat wajah perempuan itu Mandangin teringat kembali dengan perempuan yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Namun ia tetap tak menyapanya. Ia hanya mampu memandang dari kejauhan.

Melihat Tuman sudah mati masyarakat beramai-ramai menghampiri Mandangin, mereka mengucapkan terimakasih karena Mandangin mampu mengalahkan Toman dan membebaskan mereka dari cengkraman dan kekuasaan sebagai ucapan terimakasih masyarakat bersepakat mengangkat Mandangin untuk menjadi pemimpin dan pelindung mereka dari kejahatan.

Karena sebagian besar masyarakat penghuni wilayah Perek Ranggo memintanya memintanya memimpin daerah itu maka Mandangin tak mampu menolaknya hingga akhirnya ia menjadi pemimpin wilayah Perek Rango yang arif dan bijaksana sesuai dengan harapan ibunya tercinta.

Semenjak dipimpin oleh Mandangin daerah Perek Rango menjadi daerah yang aman dan penuh kedamaian yang semua itu dapat dilihat dari wajah-wajah penduduk yang memancarkan keceriaan dan kebahagiaan.

Setiap hari Mandangin selalu teringat dengan wajah perempuan cantik yang ia lihat turun mandi di Sungai Mandahan. Untuk menghapus rasa penasarannya terhadap perempuan itu ia datang ke rumah perempuan itu dan mengambil perempuan itu untuk menjadi isterinya. Karena Mandangin, adalah seorang pria yang tampan dan bijaksana sehingga tak ada perempuan yang mampu menolak lamarannya.

Akhirnya Mandangin dan perempuan itu menikah dan membina rumah tangga yang bahagia bersama keturunannya.
Daerah Perek Rango selalu dikuasai oleh keturunan Mandangin secara turun temurun dan daerah itu selalu dalam keadaan damai hingga sekarang.

Konon katanya jika kita ingin melihat daerah itu harus melakukan pertapaan di sebuah batu besar tempat pertapaan Nyai Rangkas dan Mandangin.***
Isen Mulang Petehku

———————————————————————————————————————–

Buaya Perompak (Cerita dari Lampung)

Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang dulu pernah menghuni Sungai Tulang Bawang, Provinsi Lampung, Indonesia. Buaya jadi-jadian ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan buaya itu. Pada suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang. Benarkah Buaya itu yang menculik Aminah? Lalu bagaimana dengan nasib Aminah selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Buaya Perompak berikut ini!

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.

“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.

Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.

“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.

“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.

“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.

“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.

“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.

“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.

“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.

“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.

“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.

“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah

“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.

“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.

“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.

“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.

“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.

Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.

“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.

Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.

Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.

Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.

“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.

“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.

“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.

Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.

Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.

Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya. Dalam kehidupan orang Melayu, merampas hak milik orang lain merupakan perbuatan keji dan sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang

siapa mengambil hak milik orang,
Tuhan murka orang pun perang

———————————————————————————————————————–

Sungai Jodoh
(cerita dari Batam)

Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang.

Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.

Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.

Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.

Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.

Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung. Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.

Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.

Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.

Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.

Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.

———————————————————————————————————————–

Asal Mula (Kab.) Kuningan

Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang.

Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).

Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.

Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar Kampung Salia, sekarang termasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.

Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.

Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.

Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung, Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.

Masa Keadipatian

Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.

Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon). Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).

Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.

Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati (sekarang Cirebon).

Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.

Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.

Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).

Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.

Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun 1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498 Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.***

———————————————————————————————————————–

“Sang Adipati Kuningan” adalah “Putra” Luragung

Menelusuri jejak sejarah Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan sekitarnya akhirnya dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang Adipati Kuningan yang sebenarnya adalah SURANGGAJAYA. Ia adalah putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) bernama JAYARAKSA. Jayaraksa juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama BRATAWIYANA atau BRATAWIJAYA (?) yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya Kamuning.

Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai pula ke Luragung, beliau disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien (asal Campa) yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati beliau yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.

Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.

Setelah ke Luragung perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke Winduherang (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kuningan/Kajene) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang tadinya penganut Hindu menjadi penganut Islam setelah menikah dengan Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh Maulana Akbar). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal Persia yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana. Kedatangannya ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.

Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, beliau menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.

Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu Ewangga. Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan (Cianjur) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta).

Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan tanggal 1 September 1478, yang diperingati sebagai hari lahirnya kota Kuningan.

Namun bila dilihat secara politis, sebenarnya sejak saat itu sebenarnya “Kerajaan” Kuningan telah jatuh. Tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi daerah bawahan Kerajaan Cirebon. Berarti kalau kita lihat eksistensi perjalanan Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal kelahirannya, bernama Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) – Kerajaan Saunggalah (raja: Demunawan/Rahangtang Kuku/Seuweukarma) merupakan kerajaan berdaulat penuh. Kemudian dibawahkan oleh Kerajaan Galuh (raja: Rhy Banga), lalu muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa, yaitu Prabu Ragasuci/Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah penguasaan Sunda Padjajaran oleh Prabu Siliwangi. Lalu muncul Kerajaan Kuningan dengan sebutan Kajene zaman Prabu Langlangbuana/Langlangbumi dan diturunkan kepada Ratu Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh Kerajaan Sunda Pajajaran), dan akhirnya ketika diperintah Sang Adipati Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh di bawah pengaruh Kerajaan Cirebon.

———————————————————————————————————————–

Riwayat Singkat Syech Sarif Hidayatullah

(Sunan Gunung Jati)

Oleh : Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, SE

Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran.

Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.

Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.

Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.

Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.

Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.

Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.

Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.

Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.

Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.

Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati.

Syech Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati banyak meninggalkan ipat-ipat atau nasehat, diantaranya adalah “INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN”.

———————————————————————————————————————–

Cerita Keong Mas

Alkisah ada seorang pangeran bernama Raden Putra yang menikah dengan seorang puteri bernama Dewi Limaran. Suatu hari ketika Dewi Limaran sedang berjalan-jalan di taman istana, dia melihat seekor keong diantara bunga-bunganya yang cantik. Kemudian dia meminta salah seorang pelayannya untuk mengambil keong itu dan melemparnya jauh-jauh. Sebenarnya, keong tersebut adalah seorang penyihir tua yang sedang menyamar menjadi keong. Dia marah sekali dan mengutuk sang Dewi Limaran sehingga berubahlah dia menjadi seekor keong emas dan dilempar ke sungai. Arus sungai membawanya jauh dari istana.

Prince Raden Putra was married to a princess named Dewi Limaran. One day when Dewi Limaran was walking in the palace garden, she saw a snail among her lovely flowers and she had one of her servants pick it up and throw it away. The Snail was actually an old witch who had disguised herself as a snail. The witch was very angry, so she cursed Dewi Limaran and changed her into a golden snail and threw it into the river. The stream carried it far away from the palace.

Di tepi hutan yang lebat, tinggallah seorang janda. Pekerjaannya hanyalah mencari ikan. Hari itu adalah hari yang kurang menguntungkan baginya karena dia tidak dapat menangkap seekor ikanpun. Dicobanya beberapa kali dia menebar jalanya tanpa hasil, sampai akhirnya diapun memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu berkilauan di bagian bawah jaringnya. Rupanya hanya seekor keong. Namun kemudian diapun memungutnya dan membawanya pulang. Kulit keong yang keemasan belum pernah dilihat olah janda tersebut.

On the side of a big forest, there lived a poor widow. Her living was only fishing. One day it was a particularly bad day as she didn’t catch any fish. Again and again she spread her net, but nothing got caught into it. At last she pulled up the net to go home. Suddenly she saw something shining at the bottom of it. It was only a snail. Nevertheless she picked it up and took it home. Its shell shone like gold the old woman had never seen such a snail before.

Dia menaruh keong tersebut di wadah terbuat dari tanah. Karena lelahnya dia cepat terlelap seketika masuk ke kamarnya. Ketika bangun keesokan harinya, di terheran-heran ketika mendapati lantainya sudah disapu bersih dan makanan sudah terhidang di meja. Dia penasaran akan siapa yang mengerjakan itu semua, sampai-sampai dikiranya dia sedang bermimpi. Dipikir-pikirnya, dia tetap tidak dapat menemukan siapa yang berbaik hati mengerjakan itu semua baginya.

At home she put it in an earthen pot. She then went to bed and soon was fast asleep as she was very tired. The next morning when she woke up, she found to her amazement that the floor had been swept clean and there was some food on the table. She wondered who had done all this. She thought she was dreaming, but she was not. She thought and thought but could not think of anybody who could have been so generous to her.

Beberapa hari kemudian…. dia menemukan sebuah ide. Satu pagi dia mengambil keranjangnya dan seolah-olah akan pergi keluar, tapi dia segera memutar dan bersembunyi. Tiba-tiba dia mendengar suara gerakan yang lembut dari dalam wadah tanahnya itu dan dia menyaksikan keong merangkak keluar dari wadah tersebut. Semakin lama keong tersebut semakin besar dan membesar terus dan seketika seorang gadis cantik berdiri di tempat keong tersebut, sementara cangkangnya jatuh ke tanah di belakangnya. Segera sang adis menyapu lantai, kemudian memasak nasi, sayuran, daging, telur, dan lain-lain.

Some days passed….…..she then got an idea. The next morning she took her basket and went out as usual, but shortly she returned to her hut and hid herself. Suddenly she heard a soft movement inside the earthen pot and saw the snail creeping out of it. It grew bigger and bigger and in a moment a lovely young girl stood where the snail had been. The empty shell fell to the ground behind her. Quickly the young girl swept the floor. Then she took rice, vegetables, meat, eggs etc. out of the pot and began cooking.

Ketika si janda menyaksikan semua itu, dia menyadari bahwa yang dia tangkap bukan sembarang keong, melainkan orang yang terkena kutukan, dan dia memutuskan untuk menghentikan kutukan itu.

When the old woman saw all this, she noticed that it was not an ordinary snail she had caught, but a person who lived under a spell, and she knew what she had to do to break it.

Diam-diam dia mengambil cangkang keong tersebut, dan bersegera membuangnya ke sungai. Akhirnya dia telah sebagian kutukan, dan sisanya akan diusahakan terlepas sesudah dia menemui suaminya.

She crept stealthily to the empty shell, took it, and then rushed out of the hut to throw it into the river. Now she had broken only a part of the spell, and the rest of it must still be broken before she could return to her husband.

Sang gadispun akhirnya memperkenalkan diri kepada sang ibu.

The young girl then made herself known to the old woman.

“Saya akan berdoa kepada tuhan semoga menuntun seorang pangeran ke tempat ini” kata si ibu.

“I shall pray to the gods that the prince might be led to his place,” said the old woman.

Beberapa tahun berlalu…

Many years passed by…….

Sang raja menganjurkan anaknya mencari permaisuri, walau pada awalnya sang pangeran, Raden Putra menolak karena dia belum bisa melupakan istrinya, namun pada akhirnya sang pangeran menyatakan bersedia mengambil seorang istri tetapi harus mirip dengan istrinya yang terdahulu. Seorang pelayan setia yang sudah tua menemani perjalanannya…

The king persuaded his son to look for another bride, but at first Prince Raden Putra refused as he could not forsake his wife. In the end, however, the prince asked his father if he could go out to find a bride, but one who was a look-alike of his former wife. An old faithful servant accompanied him on his trip.

Kota demi kota, desa demi desa didatangai sampai suatu hari mereka memasuki hutan lebat dan tersesat. Akhirnya mereka tiba di satu sungai. Tidak jauh dari tempat tersebut, dia menemukan sebuah tempat. Mereka memasuki rumah itu dan meminta makanan dan minuman karena mereka sangat lapar, haus, dan lelah. Si ibu menyambut mereka dengan hangat. Raden Putra melihat masakan yang dihidangkan si ibu begitu sempurna. Sang ibu bercerita bahwa yang mempersiapkan hidangan itu adalah putrinya. Raden Putra bertanya apakah dia bisa bertemu dan berterima kasih kepada putrinya itu. Sang ibupun memanggil putrinya. Sang gadis menampakkan diri dan berbungkuk di hadapan Raden Putra dengan kepala tertunduk.

They went from town to town and from village to village until one day were travelling through a big forest and they lost their way. Finally the men came to a big river and not far from it they saw a hut. They went to it to ask for some food and drink as they were hungry, thirsty and dead tired. The old woman welcomed them warmly. Raden Putra found the meal served by the old woman excellent. She told him that her daughter had prepared it. Raden Putra then asked whether he might meet and thank her daughter. The old woman had no objections and called her daughter to come out. The young girl appeared and knelt down in front of Raden Putra with her head bent.

Ketika Raden Putra melihat sang gadis, dia sangat terkejut karena dia terlihat begitu mirip dengan istrinya, Dewi Limaran. ” Kamu adalah calon istri yang saya sedang cari” dia teriak. Tapi sang gadis menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa dia sudah membuat janji: jika ada seorang lelaki ingin menikahinya, dia harus mendatangkan perangkat gamelan jawa dari surga yang bisa memainkan musik tanpa disentuh/dimainkan.

When Raden Putra saw her, he caught his breath in great surprise as the young girl looked exactly like his former wife princess Dewi Limaran. “You are the bride I’m looking for!” he cried out. But the girl shook her head and said that she had made a promise : when a man wanted to marry her, he had to obtain the holy gamelan ( Javanese orchestra) from heaven which could make music without being touched.

Rade Putra bersedia mencobanya, dan diapun pergi ke hutan. Kemudian dia berpuasa dan bersemedi. Setelah beberapa ratus hari, doanya dikabulkan.

Raden Putra was willing to try and went out into the forest. He then fasted and meditated. After a hundred days the gods heard and granted his wish.

Di hari pernikahannya, gamelan tersebut memainkan lagu-lagu sendiri begitu indahnya sehingga setiap orang yang mendengarnya kemudian merasa sangat bahagia.

On their wedding day the holy gamelan played its heavenly music. It was so beautiful that every person who heard it felt happier than ever.

Sang gadispun akhirnya mengungkapkan rahasianya, bahwa dia sebenarnya adalah Dewi Limaran. Musik dari gamelan sudah berhasil mematahkan kutukan si penyihir jahat atas dirinya.

The young girl than revealed her secret, that she was Dewi Limaran herself. The music of the gamelan had broken the evil witch’s spell.

Sang ibu tua kemudian diajak serta tinggal di istana. Akhirnya dia mendapatkan yang diinginkannya dan hidup bahagia…

The old woman had been invited to remain in the place. Now she had everything she wanted and sorrow had left her forever.

———————————————————————————————————————–

Legenda Sangkuriang

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.

Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

Ringkasan Cerita

Berdasarkan legenda tersebut, diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Kesesuaian dengan fakta geologi

Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.[1]

Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000 tahun yang lalu.

Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000 dan 55000-50000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukit Tunggul.

Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55000-50000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50000 tahun yang lalu.

Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).

———————————————————————————————————————–

Asal Mula Gunung Ciremai dan Linggarjati

1.Gunung Cereme
Gunung besar tempat bermusyawarahnya para wali, kemungkinan nama tersebut hanya kita maklumi bahwa gunung terbesar dan tertinggi di Jawa Barat hingga di beri nama Gunung Cereme, berasal dari kata “Pencereman” yang artinya “Perundingan” / musyawarah para wali. Oleh Belanda Gunung Cereme disebut Gunung Ciremai
2.Linggajati
Kata Linggajati adalah sebuah nama yang lahir karena perjalanan Sunan Gunungjati beserta 8 wali lainnya yang kalau kita Perbmbkan sampai sekarang nama tersebut masih dalam penelitian para ahli sejarah dan arkeologi, nama Linggajati kadang-kadang istilah tersebut juga tidak dihiraukan, seperti oleh seorang sekitar disebut Linggajati namun di dalam naskah perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tencantum Perundingan Liaggarjati.

Beberapa pendapat dan arti tentang Desa Linggajati, antara lain :
a.Pendapat Sunana Kalijaga disebut LINGGAJATI dengan alasan sebagai tempat linggih (Iingga) Gusti Sunan Gunungjati
b.Pendapat Sunan Bonang
Diberi nama Linggarjati mempunyai alasan bahwa sebelum Sunan Gunungjati sampai ke puncak G. Gede beliau Linggar (berangkat) meninggalkan tempat setelah beristirahat dan¬bermusyawarah tanpa mengendarai kendaraan menggunakan ilmu sejati.
c.Pendapat Syeh Maulana Magribi
Desa itu diberi nama LINGGARJATI, mempunyai arti tempat penyiaran ilmu sejati.
d.Pendapat Sunan Kudus
Disebut LINGAJATI “nalingakeun ilmu sejata” karena justru di tempat itulah mereka bermusyawarah dan menjaga rahasia ilmu sejati jangan sampai diketahui orang banyak.

diambil dari berbagai sumber :cerita lisan dan tulisan yang tercecer

———————————————————————————————————————–

Mundinglaya Dikusumah

Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat dari masyarakat Sunda. Cerita rakyat tersebut menceritakan kehidupan seorang pangeran yang kemudian diangkat menjadi raja saat Prabu Siliwangi memerintah kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda sendiri sering disebut oleh orang Sunda sebagai Pajajaran (nama ibukota kerajaan) setelah Cirebon dan Banten memisahkan diri dari kerajaan tersebut.

Sumber

Cerita rakyat ini berasal dari tradisi lisan orang Sunda yang disebut cerita pantun, yang kemudian ditulis dalam bentuk buku oleh para penulis Sunda baik dalam Bahasa Sunda maupun Bahasa Indonesia).[1] karya-karya roman yang mengadopsi cerita pantun Mundinglaya Dikusumah di antaranya

Pasini Jangji di Muaraberes karya Rohmat Tasdik Al-Garuti (dalam tiga bahasa: Sunda, Indonesia, dan Inggris)

Rangkuman

Prabu Silihwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.

Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan mayarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan kearah permusuhan antar saudara.

Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Diantara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”

Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”

Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayahanda,” kata pangeran Mundinglaya.

Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”

“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”

“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”

”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”

Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.

Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.

Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”

“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.

Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan nafas. Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:

“Katakan dimana Jabaning Langit?”

“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”

“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.

Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.

Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”

“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”

“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.

“Tida perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.

Di Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.

Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.

Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.

Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.

———————————————————————————————————————–

Jaka Tarub

Asal-Usul

Nama Jaka Tarub terdapat dalam Babad Tanah Jawi, yaitu kumpulan naskah yang berisi sejarah Kesultanan Mataram. Tidak diketahui siapa nama asli Jaka Tarub, ataupun nama asli kedua orang tuanya.

Dikisahkan ada seorang pemuda, sebut saja Jaka Kudus, kabur dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya (KI Ageng Kudus). Di tengah jalan Jaka Kudus memerkosa putri Ki Ageng Kembanglampir sampai hamil. Gadis itu akhirnya meninggal saat melahirkan.

Bayi laki-laki yang ditinggal mati ibunya itu, ditemukan seorang pemburu bernama Ki Ageng Selandaka. Si bayi digendong sambil mengejar burung sampai ke desa Tarub. Karena merasa terganggu, Ki Ageng Selandaka akhirnya meninggalkan bayi tersebut di jalanan.

Si bayi ditemukan seorang janda, sebut saja Nyai Tarub, dan dijadikan anak angkat. Oleh penduduk sekitar ia dipanggil dengan nama Jaka Tarub.

Pernikahan Jaka Tarub

Jaka Tarub tumbuh menjadi seorang pemuda yang gemar berburu. Suatu hari ia melanggar larangan ibu angkatnya supaya tidak berburu sampai kawasan Gunung Keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi.

Jaka Tarub mencuri selendang salah satu bidadari. Ketika acara mandi selesai, enam dari tujuh bidadari tersebut kembali ke kahyangan. Sisanya yang satu orang bingung mencari selendangnya, karena tanpa itu ia tidak mampu terbang.

Jaka Tarub muncul pura-pura datang menolong. Bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Retno Nawangsih.

Selama hidup berumah tangga, Nawangwulan selalu memakai kesaktiannya. Sebutir beras bisa dimasaknya menjadi sebakul nasi. Suatu hari Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tidak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa.

Maka, persediaan beras menjadi cepat habis. Ketika beras tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendang pusakanya tersembunyi di dalam lumbung. Nawangwulan pun marah mengetahui kalau suaminya yang telah mencuri benda tersebut.

Jaka Tarub memohon istrinya untuk tidak kembali ke kahyangan. Namun tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya demi bayi Nawangsih ia rela turun ke bumi untuk menyusui saja.

Pernikahan Nawangsih

Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dengan Brawijaya raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub.

Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya yang tidak diakui. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.

Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan.

Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.

Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Analisis Kisah Jaka Tarub

Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram. Pemberitaan tentang Panembahan Senapati dan para penggantinya memang mendekati fakta sejarah. Akan tetapi kisah-kisah sebelum Panembahan Senapati cenderung bersifat khayal, terutama seputar Kerajaan Majapahit.

Sesungguhnya, Kesultanan Mataram didirikan oleh keluarga petani, bukan keluarga bangsawan. Oleh karena itu, demi mendapat legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakanlah tokoh-tokoh mitos yang serba istimewa sebagai leluhur raja-raja Mataram.

Dalam hal ini, tokoh Nawangsih yang dinikahi Bondan Kejawan disebut sebagai wanita istimewa. Nawangsih merupakan anak campuran antara manusia dan bidadari. Kisah ini mengingatkan pada tokoh Ken Arok dalam Pararaton. Pihak Majapahit juga ingin menunjukkan bahwa leluhur mereka, yaitu Ken Arok adalah manusia istimewa setengah dewa.

———————————————————————————————————————–

Loro Jonggrang

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging.
Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak
mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja
Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki
ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku
menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus
aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya
berputar-putar.

Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah
besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk
mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso. “Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak
Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia
menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu,
tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya
harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu
harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro
Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.

Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi
tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu,
siapkan peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di
siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya
dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan
suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin
menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung
Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin.
“Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso.

Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam
waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu
buah. Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari
kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
“Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal.
Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan
jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang.
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung…
dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi
suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru
jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,”
sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan
tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan
jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke
tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang
segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
“Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal
memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut
mengetahui kekurangan itu.

Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”,
kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu
kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung
batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di
wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.

———————————————————————————————————————–

Angling Darma

Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata.
Garis silsilah

Anglingdarma merupakan keturunan ketujuh dari Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut tradisi Jawa, kisah Mahabharata dianggap benar-benar terjadi di Pulau Jawa.

Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir seorang putra bernama Anglingdarma.

Kelahiran

Semenjak Yudayana putra Parikesit naik takhta, nama kerajaan diganti dari Hastina menjadi Yawastina. Yudayana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada Gendrayana. Pada suatu hari Gendrayana menghukum adiknya yang bernama Sudarsana karena kesalahpahaman. Batara Narada turun dari kahyangan sebagai utusan dewata untuk mengadili Gendrayana. Sebagai hukuman, Gendrayana dibuang ke hutan sedangkan Sudarsana dijadikan raja baru oleh Narada.

Gendrayana membangun kerajaan baru bernama Mamenang. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Jayabaya. Sementara itu, Sudarsana digantikan putranya yang bernama Sariwahana. Sariwahana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada putranya yang bernama Astradarma.

Antara Yawastina dan Mamenang terlibat perang saudara berlarut-larut. Atas usaha pertapa kera putih bernama Hanoman yang sudah berusia ratusan tahun, kedua negeri pun berdamai, yaitu melalui perkawinan Astradarma dengan Pramesti, putri Jayabaya.

Pada suatu hari Pramesti mimpi bertemu Batara Wisnu yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun tiba-tiba perutnya telah mengandung. Astradarma marah menuduh Pramesti telah berselingkuh. Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.

Jayabaya marah melihat keadaan Pramesti yang terlunta-lunta. Ia pun mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh banjir lumpur. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana Yawastina.

Setelah kematian suaminya, Pramesti melahirkan seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Kelahiran bayi titisan Wisnu tersebut bersamaan dengan wafatnya Jayabaya yang mencapai moksa. Takhta Mamenang kemudian diwarisi oleh Jaya Amijaya, saudara Pramesti.

Perkawinan pertama

Setelah dewasa, Anglingdarma membawa ibunya pindah ke sebuah negeri yang dibangunnya, bernama Malawapati. Di sana ia memerintah dengan bergelar Prabu Anglingdarma, atau Prabu Ajidarma.

Anglingdarma sangat gemar berburu. Pada suatu hari ia menolong seorang gadis bernama Setyawati yang dikejar harimau. Setyawati lalu diantarkannya pulang ke rumah ayahnya, seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Tidak hanya itu, Anglingdarma juga melamar Setyawati sebagai istrinya.

Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah barangsiapa ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Maka terjadilah pertandingan yang dimenangkan oleh Anglingdarma. Sejak saat itu, Setyawati menjadi permaisuri Anglingdarma sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai patih di Kerajaan Malawapati.

Pada suatu hari ketika sedang berburu, Anglingdarma memergoki istri gurunya yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Anglingdarma pun membunuh ular jantan sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka.

Nagagini kemudian menyusun laporan palsu kepada suaminya, yaitu Nagaraja supaya membalas dendam kepada Anglingdarma. Nagaraja pun menyusup ke dalam istana Malawapati dan menyaksikan Anglingdarma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Ia pun muncul dan meminta maaf kepada Anglingdarma.

Nagaraja mengaku ingin mencapai moksa. Ia kemudian mewariskan ilmu kesaktiannya berupa Aji Gineng kepada Anglingdarma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut Nagaraja pun wafat.

Sejak mewarisi ilmu baru, Anglingdarma menjadi paham bahasa binatang. Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat Setyawati tersinggung. Anglingdarma menolak berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan Aji Gineng, membuat Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api karena merasa dirinya tidak dihargai lagi. Anglingdarma berjanji lebih baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahsia ilmunya.

Ketika upacara pembakaran diri digelar, Anglingdarma sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Anglingdarma sadar kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan emosional yang justru merugikan rakyat banyak. Maka, ketika Setyawati terjun ke dalam kobaran api, Anglingdarma tidak menyertainya.

Masa hukuman

Perbuatan Anglingdarma yang mengingkari janji sehidup semati dengan Setyawati membuat dirinya harus menjalani hukuman buang sampai batas waktu tertentu sebagai penebus dosa. Kerajaan Malawapati pun dititipkannya kepada Batikmadrim.

Dalam perjalanannya, Anglingdarma bertemu tiga orang putri bernama Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada Anglingdarma dan menahannya untuk tidak pergi. Anglingdarma menurut sekaligus curiga karena ketiga putri tersebut suka pergi malam hari secara diam-diam.

Anglingdarma menyamar sebagai burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam ketiganya berpesta makan daging manusia. Anglingdarma pun berselisih dengan mereka mengenai hal itu. Akhirnya ketiga putri mengutuknya menjadi seekor belibis putih.

Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Pada saat itu Darmawangsa raja Bojanagara sedang bingung menghadapi pengadilan di mana seorang wanita bernama Bermani mendapati suaminya yang bernama Bermana berjumlah dua orang.

Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta sebagai peliharaan Ambarawati, putri Darmawangsa.

Kembali ke Malawapati

Anglingdarma yang telah berwujud belibis putih bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari saja. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam wujud manusia. Mereka akhirnya menikah tanpa izin orang tua. Dari perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.

Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa suami. Kebetulan saat itu muncul seorang pertapa bernama Resi Yogiswara yang mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.

Yogiswara kemudian menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Setelah melalui pertarungan seru, belibis putih kembali ke wujud Anglingdarma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan Batikmadrim adalah untuk menjemput Anglingdarma yang sudah habis masa hukumannya.

Anglingdarma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari perkawinan kedua itu lahir seorang putra bernama Anglingkusuma, yang setelah dewasa menggantikan kakeknya menjadi raja di Kerajaan Bojanagara.

———————————————————————————————————————–

Kebo Iwa, patriot Nusantara

Pura Gunung Kawi Bali, yang konon dibuat oleh Kebo Iwa
Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Bagi penduduk Bali pada masa itu, manusia yang belum mempunyai keturunan adalah manusia yang siasia hidupnya.

Suatu hari mereka pergi ke Pura Desa. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.

Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.

Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasian mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”

Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi…

Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.

Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.

Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.

Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.

Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat.

Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang dariDanau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan tindakan yang tidak senonoh.

Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang langgang.

Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.

Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa.

Pahatan tersebut diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.

Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah.

Beragam kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir
dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. (‘Beda’ diartikan sebagai kekuatan yang berbeda). Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi.

Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali.

Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Raja Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.

Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Semua kapal-kapal perang Majapahit ditenggelamkan selagi berada di Selat Bali.

Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Dalam siasat yang diatur, Gajah Mada memberikan pujian kepada Baginda Sri Astasura Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa tanpa menimbulkan kecurigaan. Lantas, Raja Majapahit membujuk Patih kebo Iwa untuk melakukan perjalanan ke Majapahit guna menikahi wanita terhormat nan jelita pilihan raja yang berasal dari Lemah Tulis.

Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga.Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa.

Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; “Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.

Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa : “Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit.

Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.

Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.

Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut.Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata: “Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.

Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu.Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk.

Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak: “Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.

Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat. Mengubur
seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada para parjuritnya.Gajah Mada : “Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit”.

Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo Iwa : (berteriak) “Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!. Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan.

Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur. Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu.

Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.

Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan
olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini.

Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.

Kebo Iwa : “Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.

Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa.

Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantakmenjadi serpihan bubuk.

Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.

Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa,menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa.

Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa : “Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.

Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada : “Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.

Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.

Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

———————————————————————————————————————–

Cindelaras

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.

Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.

Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

———————————————————————————————————————–

Kancil Pencuri Ketimun

Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. “Tolong! Tolong! ” terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari. “Ada apa, sih?” kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. “Kebakaran! Kebakaran! ” teriak Kambing. ” Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! ” Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya.

Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya. “Aduh, napasku habis rasanya,” Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. “Lho, di mana binatang-binatang lainnya?” Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. “Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini.” Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. “Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?’7 Kancil semakin takut dan bingung. “Tuhan, tolonglah aku.”

Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani. “Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan,” mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali! “Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali,” kata Kancil sambil menelan air liurnya. “Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah.”

Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya? “Hmm, sedap sekali,” kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. “Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik.” Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. “Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi,” kata Kancil sambil menguap. Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr… krr… krrr…

Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. “Wah, pesta berlanjut lagi, nih,” kata Kancil pada dirinya sendiri. “Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku.” Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. “Wow, itu dia yang kucari! ” seru Kancil gembira. “Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih.” Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. “Wow, sedap sekali sarapan timun,” kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat.

Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. “Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini,” kata Pak Tani geram. “Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?” Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. 7 @ Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! ” omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. “Panen timunku jadi berantakan.” Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan.

Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. “Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani,” kata Kancil pada dirinya sendiri. “Kumisnya boleh juga. Tebal,’ hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi… hi… hi…. Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. “Aduh, Pak Tani kok lama ya,” ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan. “Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu,” Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani.

Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. “Benar-benar keterlaluan! ” seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. “Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri.” Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. “Hmm, pencurinya pasti binatang,” kata Pak Tani. “Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya.” Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. “Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! ” Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket!

Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani. “Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi,” ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. “Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?” Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan. “Ah, lebih baik aku ke sana,” kata Kancil memutuskan. “Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis.”

“Maafkan saya, Pak,” sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. “Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?” Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil. “Huh, sombong sekali!” seru Kancil marah. “Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?” gerutunya. Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu. ” Lepaskan tanganku! ” teriak Kancil j engkel. ” Kalau tidak, kutendang kau! ” Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu. “Aduh, bagaimana ini?”

Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. “Nah, ini dia pencurinya! ” Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. “Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku.” Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. “Katanya kancil binatang yang cerdik,” ejek Pak Tani. “Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha… ha… ha…. ” Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate. ” Aku harus segera keluar malam ini j uga I ” tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku. ” Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. “Ssst… Anjing, kemarilah,” bisik Kancil. “Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?”

Anjing terkejut mendengarnya. “Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak.” Kancil tersenyum penuh arti. “Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong! ” Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajakn-ya pergi ke pesta. “Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani,” janji Kancil. “Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?” Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang. “Terima kasih,” kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. “Maaf Iho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya.” Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang.

———————————————————————————————————————–

Lutung Kasarung

Alkisah, Prabu Tapa Agung memutuskan untuk lengser keprabon. Dari 7 puteri yang dimilikinya, beliau menunjuk putri Purbasari, putri bungsunya sebagai penerus tahta. Keputusan ini menimbulkan polemik di kerajaan karena dianggap tidak sesuai dengan tradisi. Mestinya tampuk kekuasaan jatuh pada si sulung. Sang prabu punya alasan sendiri. Si bungsu dianggap lebih berluhur budi. Menurut beliau, hanya dengan keluhuran budi seorang pemimpin dapat memerintah dengan adil.

Sepeninggal sang raja. Diam-diam si sulung, putri Purbararang, meminta bantuan seorang sakti guna mendatangkan bala. Purbasari tiba-tiba terjangkit penyakit kulit. Desas-desus ditiupkan oleh Purbararang, bala ini adalah buah kutukan dewata akibat ayahanda telah menyalahi tradisi. Demi menutup aib kerajaan, si bungsu diungsikan ke hutan.

Sementara itu, di kahyangan, seorang pangeran Guruminda sedang di wasiati sunan ambu, ibunya, agar segera mencari pendamping hidup. Di kahyangan banyak sekali putri yang cantik-cantik. Para pohaci. Namun tidak ada satupun yang menarik hatinya. Maka, sang bunda menitahkan ia untuk pergi ke buana panca tengah, tempat manusia bermukim. Mungkin di sanalah engkau akan menemukan cinta sejatimu, sabda sang bunda.

Tapi bagaimana ananda bisa tahu bahwa gadis yang hamba suka adalah cinta sejati. Sang bunda berhening-cipta sejenak, dan memutuskan mengubah pangeran dalam wujud seekor lutung. Sang bunda berkata, bila gadis itu adalah cinta sejatimu, kelak melalui gadis itulah kau dapat menjelma dalam wujud aslimu. Pangeran Guruminda.

Setelah bersembah sujud, memohon restu sang bunda, turunlah sang lutung ke bumi. Di sebuah hutan, ia bertemu dengan gadis yang tubuhnya terkena penyakit kulit. Sangat buruk dan mengeluarkan bau busuk. Tapi air muka sang putri terlihat memancarkan kebaikan dan keteduhan. Ia dikelilingi oleh sahabat demikian banyak. Seluruh penghuni rimba raya tidak ada yang menganggunya, bahkan selalu menemani dan membantunya.

Dengan cepat, lutung menjadi salah satu sahabatnya. Sejak mengenal lutung. Sang putri tidak perlu lagi berpayah-payah mencari makan. Setiap hari berbagai makanan sudah disediakan oleh lutung. Tidak hanya makanan, bunga-bunga cantik selalu tersedia untuk menghias tempat tinggal sang putri dan penghias gelung rambut indahnya.

Hari demi hari. Persahabatan diantara mereka makin lekat. Sang putri sangat menyayangi si lutung, demikian pula sebaliknya. Sang putri kerapkali menceritakan persoalan hidupnya kepada lutung.

Suatu ketika, saat sang putri membawa lutung berjalan-jalan, lutung tiba-tiba berlari ke suatu tempat. Tidak mau kehilangan lutung kesayangannya, sang putri lari mengejar hingga ke sebuah danau. Di tepi danau sang putri tertegun. Terpesona akan kesegaran dan jernihnya air danau tersebut. Beliau segera mandi disana. Anehnya begitu selesai mandi, hilanglah semua penyakit kulitnya. Bahkan bertambah kemilau indah kecantikannya. Sang puteri sangat berterima kasih pada lutung yang sudah membawanya pada danau tersebut. Karena penyakitnya sudah sembuh, puteri kembali ke istana. Tapi sang kakak yang tidak mau tahtanya diambil, malah mengajaknya adu tanding. Sang kakak membuka gelung rambutnya dan berkata bila rambut adiknya lebih panjang, ia akan menyerahkan tampuk kerajaan. Ternyata sang adik berambut lebih panjang.

Sang kakak masih tidak puas, ia mengatakan bahwa syarat menjadi ratu harus memiliki pasangan hidup. Sang kakak sudah memiliki pasangan: pangeran indrajaya.

Tantangan ini membuat sedih putri Purbasari, bagaimana tidak, selama ini ia hanya bergaul dengan binatang hutan tidak ada seorang pemudapun yang ia kenal. Dengan lirih, sang dewi berucap pada lutung,”kamulah yang paling dekat denganku selama ini. seandainya engkau manusia pastilah kau sudah ku jadikan pendamping hidupku”. Ucapan sang dewi bagai mantera pelepas sihir. Seketika itu pula lutung berubah wujud, menjelma jadi wujud asalnya saat di kahyangan, pangeran Guruminda.

Pangeran Guruminda segera menyatakan bahwa ia adalah pendamping putri Purbasari. Dan tahta kerajaanpun di ambil alih oleh yang semestinya, sesuai wasiat sang prabu.
Tamat.

———————————————————————————————————————–

Pak Sakerah

Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera sadalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura.

Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).

Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.

Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.

Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.

Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.

Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).

———————————————————————————————————————–

Asal Usul Sawah Lunto

Alkisah, lebih kurang tahun 1600 Masehi, ada sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana, rakyatnya hidup rukun dan damai.

Kerajaan kecil tersebut bernama Kerajaan Sitambago, sesuai dengan nama rajanya Sitambago. Daerah kekuasaannya di sebelah utara berbatas dengan nagari Kolok, di sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Buar / Koto Tujuh, di sebelah selatan berbatas dengan nagari Pamuatan dan di sebelah barat berbatas dengan nagari Silungkang dan nagari Kubang.

Kerajaan Sitambago mempunyai pasukan tentara yang kuat dan terlatih. Pusat kerajaan Sitambago berada di sebuah lembah yang dilalui oleh sebuah sungai yang mengalir dari Lunto, pusat kerajaan Sitambago tersebut diperkirakan berada di tengah kota Sawahlunto sekarang. Sudah menjadi adat waktu itu, nagari-nagari dan kerajaan-kerajaan berambisi memperluas wilayahnya masing-masing, memperkuat pasukannya dan menyiapkan persenjataan yang cukup seperti tombak, galah, keris, parang, panah baipuh (panah beracun) dan lain-lain, senjata tersebut digunakan untuk menyerang wilayah lain atau untuk mempertahankan diri apabila diserang.

Di Silungkang / Padang Sibusuk, pasukan Gajah Tongga Koto Piliang disamping mempunyai senjata tombak, keris, galah, parang dan panah juga punya senjata yang tidak punyai oleh daerah lain, yaitu senjata api SETENGGA, senjata api standar Angkatan Perang Portugis. Orang Portugis yang ingin membeli emas murni ke Palangki harus melalui Buluah Kasok (Padang Sibusuk sekarang) dan berhadapan dengan Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang terlebih dahulu, entah dengan cara apa, senjata api SETENGGA lengkap dengan peluruhnya berpindah tangan ke Pasukan Gajah Tongga Koto Piliang.

Guna memperluas wilayah, diadakanlah perundingan antara Pemuka Nagari Silungkang / Padang Sibusuk dengan pemuka Nagari Kubang untuk menyerang kerajaan Sitambago, maka didapatlah kesepakatan untuk menyerang kerajaan Sitambago tersebut, penyerangan dipimpin oleh Panglima Paligan Alam. Strategi penyerangan diatur dengan sistim atau pola pengepungan, dimana tentara Silungkang / Padang Sibusuk mengepung dari daerah Kubang Sirakuk dan tentara Kubang dari jurusan Batu Tajam dan dataran tinggi Lubuak Simalukuik, dengan sistim atau pola pengepungan tersebut akan membuat tentara Sitambago tidak dapat bergerak dengan leluasa.

Maka tibalah hari H pertempuran, kerajaan Sitambago telah dikepung, tentara dan penduduk kerajaan Sitambago jadi panik, ruang gerak semakin sempit. Melihat kepanikan tersebut, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan korban yang banyak, Panglima Paligan Alam menyerukan supaya Raja Sitambago beserta tentara dan rakyatnya menyerah, namun seruan niat baik Panglima Paligan Alam itu tidak digubris sedikitpun oleh Raja Sitambago, malahan Raja Sitambago siap untuk berperang, terbukti dihimpunnya balatentara dengan jumlah yang besar dan dikibarkannya bendera perang, pasukan langsung dipimpin oleh Raja Sitambago dengan gagah berani dan terjadilah pertempuran yang sengit.

Secara perdana, untuk jolong-jolong kalinya tentara Silungkang / Padang Sibusuk mempergunakan senjata api SETENGGA, suara letusan senjata SETENGGA menggelegar dan balatentara beserta penduduk kerajaan Sitambago baru kali ini mendengar letusan yang dahsyat serta membuat ciut hati mereka. Banyak tentara dan penduduk kerajaan Sitambago yang tewas akibat peluru SETENGGA, termasuk Raja Sitambago tersungkur bersimbah darah terkena tembakan senjata SETENGGA yang kemudian senjata tersebut dinamakan oleh mereka senjata HANTU TOPAN. Tentara dan penduduk kerajaan Sitambago mundur dan lari kocar-kacir meninggalkan wilayahnya, pusat kerajaan dan kemudian dikuasai oleh balatentara Panglima Paligan Alam.

Setelah perang usai, balatentara Silungkang / Padang Sibusuk dan Kubang yang dipimpin oleh Panglima Paligan Alam kembali ke nagari masing-masing, sedangkan wilayah pusat kerajaan Sitambago (kota Sawahlunto sekarang) terbiar begitu saja. lahan yang terbiar dan terlantar itu dimanfaatkan oleh anak nagari Lunto untuk bercocok tanam, dibuatlah persawahan, sehingga wilayah tersebut menjadi SAWAH yang digarap oleh orang LUNTO. Sementara kepemilikan dan hak tanah tetap berada pada anak nagari Silungkang / Padang Sibusuk dan anak nagari Kubang yang telah memenangi peperangan dengan kerajaan Sitambago.

Disisi lain kaum keturunan Sitambago masih ada sampai sekarang disekitar daerah Pamuatan dan Santur.

Kisah ini disajikan oleh Djasril Abdullah untuk kedua kalinya yang sebelumnya dimuat pada Buletin Silungkang-Koba Anak Nagori edisi Desember 2002 / Januari 2003, halaman 54 yang disalin dan divariasi dari arsip Kantor Wali Nagari Silungkang dan kisah ini diriwayatkan oleh Datuak Podo Khatib kampuang Dalimo Kosiak-Penghulu Kepala Nagari Silungkang. Panggilan akrab beliau ONGKU PALO PENSIUN seiring dengan masa pensiun yang beliau jalani sejak tahun 1914 sebagai Penghulu Kepala. Beliau menyampaikan kisah ini secara lisan kepada dua orang tokoh Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang kini sudah almarhum yaitu SULAIMAN LOBAI dan M. SALEH BAGINDO RATU. Selanjutnya kisah ini ditulis untuk pertama kalinya oleh M. SALEH BAGINDO RATU.

———————————————————————————————————————–

Semangka Emas
Cerita Rakyat Melayu Sambas

Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.

Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.

Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.

Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.

Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan “Kasihan,” kata Dermawan. “Sayapmu patah, ya?” lanjut Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. “Biar kucoba mengobatimu,” katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.

Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya.

Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. “Terima kasih! Terima kasih!” seru Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.

Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.

Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. MUzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.

Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.

———————————————————————————————————————–

Asal Usul Danau Lipan
Cerita dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, “Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing.”

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, “Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya.” Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

———————————————————————————————————————–

Bawang Merah dan Bawang Putih

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

———————————————————————————————————————–

La Dana dan Kerbaunya
Cerita dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan

La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.

Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang.

Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.

Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari kerbau itu.

Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong.

Kali ini kawannya sudah tidak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.
———————————————————————————————————————-

Asal Usul Gunung Tangkuban Parahu

Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.

Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.

Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.

Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.

Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.

Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.

———————————————————————————————————————–
Asal Mula Nama Palembang

Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.

Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.

Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.

Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.

Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.

Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.

Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.

Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.

Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.

Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.

Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang

———————————————————————————————————————–
Malin Kundang ( Sumatra Barat )

Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.

Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.

Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.

Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.

Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

———————————————————————————————————————–
Asal Usul Danau Maninjau

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!

Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”

“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.

“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.

Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.

Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.

“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.

“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.

“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.

“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.

“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.

“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.

“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.

“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.

“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.

“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.

“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.

“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.

“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.

“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.

“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.

“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.

“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.

“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.

“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.

“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.

Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.

“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.

“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.

“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.

“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.

Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”

Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat

———————————————————————————————————————–
Asal Usul Danau Toba

Pada zaman dahulu di suatu desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba yang menyendiri di sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan lahan pertaniannya untuk keperluan hidupnya.

Selain mengerjakan ladangnya, kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia masak untuk dimakan.

Pada suatu sore, setelah pulang dari ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti itu,tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar pancingnya itu adalah ikan yang besar.

Setelah beberapa lama dia biarkan pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas. Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.

Setibanya di rumah, lelaki itu langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali ke atas rumah dan langsung menuju dapur.

Pada saat lelaki itu tiba di dapur, dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas. Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan dapur dan masuk kekamar.

Ketika lelaki itu membuka pintu kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena didalam kamar itu berdiri seorang perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar. Sesaat kemudian perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.

Karena hari sudah malam, perempuan itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia diajak perempuan itu menemaninya kedapur karena dia hendak memasak nasi untuk mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal usul istrinya myang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian, kawinlah mereka.

Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sngat dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan pemalas.

Setelah cukup besar, anak itu disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang. Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang mengantarkan nasi ke ladang.

Suatu hari, anak itu disuruh ibunya lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesl pergilah ia mengantarkan nasi itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya. Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”

Sambil menangis, anak itu berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut dan mendakinya.

Ketika tampak oleh sang ibu anaknya sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh yang megelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba. Sedang Pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.

———————————————————————————————————————–
Simardan, Anak Durhaka, Cerita Rakyat Sumut(cerita rakyat sumatra utara)

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu. Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.
Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.
Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.
Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung. Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. “Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”

———————————————————————————————————————–
Cerita Rakyat (BATU GANTUNG) Hanging Stone Di Parapat

Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.

Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.

Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.

Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.

Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.

Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.

Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.

Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..

Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.

“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.

“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.

“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.

“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.

Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”

“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.

“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.

“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.

“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.

Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.

“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.

“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.

“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”

“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.

Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.

“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.

“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.

“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.

“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.

“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.

Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.

Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia

———————————————————————————————————————–
Si Parkit Raja Parakeet (Cerita Rakyat di Aceh)

Alkisah, di tengah hutan belantara di daerah Aceh, hiduplah sekawanan burung parakeet yang hidup damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka bernyanyi riang dengan suara merdu bersahut-sahutan dan saling membantu mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin oleh seorang raja parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu, kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia berniat menangkap dan menjual burung parakeet tersebut.

Pelan-pelan tapi pasti, si Pemburu itu melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu, lalu memasang perekat di sekitar sarang-sarangnya. “Ehm….Aku akan kaya raya dengan menjual kalian!”, gumam si Pemburu setelah selesai memasang banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus membayangkan uang yang akan diperolehnya. Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet, sehingga mereka menjadi ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk mengingatkan antara satu sama lainnya.

“Hati-hati! Pemburu itu telah memasang perekat di sekitar sarang kita! Jangan sampai tertipu! Sebaiknya kita tidak terbang ke mana-mana dulu!” seru seekor burung parakeet.

“Ya, betul! Kita memang harus berhati-hati,” sahut burung parakeet yang lain.

Namun, karena harus mencari makan, burung-burung parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan, burung-burung parakeet itu terekat pada perekat si Pemburu. Mereka meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet.

Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, “Tenang, Rakyatku! Ini adalah perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin menangkap kita hidup-hidup. Jadi, kalau kita mati, si Pemburu itu tidak akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang, kita pura-pura mati saja!”

Mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu, “Berpura-pura mati? Untuk apa?”, tanya seekor parakeet, membuat burung parakeet lainnya menoleh ke arahnya.

Si Parkit tersenyum mendengar pertanyaan itu, “Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat yang dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya kita telah mati, maka dia akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai hitunganku yang ke seratus agar kita dapat terbang secara bersama-sama!”.

Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si Parkit. “Oh, begitu..!? Baiklah, besok kita akan berpura-pura mati agar dapat bebas dari Pemburu itu!”, sahut rakyatnya setuju. Kini, rakyatnya sudah mengerti apa yang direncanakan oleh si Parkit. Mereka berjanji akan menuruti perintah rajanya.

Keesokan harinya, si Pemburu pun datang. Dengan sangat hati-hati, si Pemburu melepaskan burung parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat kecewa, karena tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si Pemburu berjalan seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan burung parakeet yang berpura-pura mati di sekitarnya pun kaget dan terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan burung parakeet itu. Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada seekor burung parakeet yang masih melekat pada perekatnya. Lalu ia menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain adalah si Parkit.

“Kamu akan kubunuh!”, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat ketakutan mendengar bentakan si Pemburu. Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera berpikir untuk menyelematkan diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si Pemburu itu.

“Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh hamba! Lepaskan hamba, Tuan!” pinta si Parkit.

“Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah menipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menangkap kalian!” kata si Pemburu dengan marah.

“Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba, Tuan! Hamba akan menghibur Tuan setiap hari!” kata si Parkit memohon.

“Menghiburku?” tanya si Pemburu.

“Betul, Tuan. Hamba akan bernyanyi setiap hari untuk Tuan!” seru si Parkit.

Si Pemburu diam sejenak memikirkan tawaran burung parakeet itu. “Memangnya suaramu bagus?” tanya si Pemburu itu mulai tertarik.

Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit yang merdu itu berhasil mumbujuk si Pemburu, sehingga ia tidak jadi dibunuh. “Baiklah, aku tidak akan membu nuhmu, tapi kamu harus bernyanyi setiap hari!” kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun setuju.

Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di rumahnya, si Parkit tidak dikurung dalam sangkar, tapi salah satu kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak saat itu, setiap hari si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pemburu itu. Si Pemburu pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. “Untung….aku tidak membunuh burung parakeet itu”, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung, karena banyak orang yang memuji kemerduan suara si Parkit.

Sampai pada suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut terdengar oleh Raja Aceh di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu pun datang ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang pada si Parkit.

Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit yang bersuara merdu itu kepada Sang Raja.

“Ampun, Baginda! Hamba tidak bermaksud menentang keinginan Baginda!” kata si Pemburu memberi hormat.

“Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan burung itu?” tanya sang Raja.

“Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat sayang pada burung tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik”, jawab si Pemburu.

Mendengar jawaban itu, “Kalau begitu, bagaimana jika kuganti dengan uang yang sangat banyak.?”, sang Raja menawarkan.

Pemburu itu pun terdiam sejenak memikirkan tawaran itu. Tidak lama, “Ampun, Baginda! Jika Baginda benar-benar menyukai burung parakeet tersebut, silakan kirim pengawal untuk mengambilnya!” kata si Pemburu sambil memberi hormat.

Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung parakeet tersebut dan menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si Pemburu.

Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas. Setiap hari si Parkit disediakan makanan yang enak. Meskipun semuanya serba enak, namun si Parkit tetap tidak senang, karena ia merasa terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu, agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si Parkit sudah beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja.

Mengetahui burung parakeetnya tidak mau menyanyi lagi, sang Raja mulai bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin tahu keadaan burung itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana, “Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini? Dia sakit, ya?”.

Petugas Istana itu menjawab, “Maaf, Tuanku. Hamba juga tidak tahu apa sebabnya. Saya telah memberinya makan seperti biasanya, tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,”.

Mendengar jawaban dari Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. “Ada apa, ya?” gumam sang Raja.

Beberapa hari kemudian, si Parkit bahkan tidak mau memakan apa pun yang disediakan di dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan belantara tempat tinggalnya dulu. Si Parkit pun mulai berpikir, “Bagaimana caranya ya….aku bisa keluar dari sangkar ini?”, gumam si Parkit.

Tak lama, ia pun menemukan akal, “Aahh….aku harus berpura-pura mati lagi!”, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan terbang tinggi. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati. Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati segera menghadap sang Raja.

“Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara sebaik mungkin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena sudah tua,” kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit.

Sang Raja sangat sedih mendengar berita kematian burung parakeetnya, sebab tidak akan ada lagi yang menghiburnya. Meskipun sang Raja masih memiliki burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit. Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi,

“Siapkan upacara penguburan! Kuburkan burung parakeetku itu dengan baik!” perintah sang Raja.

“Siap, Tuanku! Hamba laksanakan!” sahut Petugas Istana.

Penguburan si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada saat persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena dianggap sudah mati. Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan cepatnya ia terbang setinggi-tingginya. Di udara ia berteriak dengan riang gembira, “Aku bebaasss…!!! Aku bebaasss….!!!. Orang-orang hanya terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang tinggi. Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu yang ia cintai. Kedatangan si Parkit pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya. Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya. ***

———————————————————————————————————————–
Si Kepar (cerita rakyat aceh)

Alkisah, di sebuah daerah di Kabupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya.
Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh.
Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara, menyeberangi sungai dan mendaki gunung. Akhirnya, sampailah ia pada tempat yang dimaksud ibunya. Dari kejauhan, tampaklah seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyiangi rumput di tengah-tengah ladangnya. Si Kepar pun segera menghampiri dan menyapanya.
“Selamat siang, Pak!”.
“Siang juga, Nak!” jawab Bapak itu.
“Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya pula Bapak itu.
“Saya Si Kepar. Berasal dari Tanah Alas,” jawab Si Kepar.
“Tanah Alas?” ucap Bapak itu. Ia tersentak kaget mendengar jawaban Si Kepar.
“Kenapa Bapak kaget mendengar nama itu?” tanya Si Kepar.
“Oh tidak, Nak! Tidak ada apa-apa,” jawab Bapak itu.
“Apa yang membawa kamu ke sini, Par?” tanya balik bapak itu.
Si Kepar pun menceritakan maksud kedatanganya, namun ia tidak menceritakan kalau ibunya masih hidup. Setelah mendengar cerita si Kepar, tahulah Bapak itu bahwa Si Kepar adalah anaknya.
Sejak itu, Si Kepar mulai silih berganti tinggal bersama ayah atau ibunya. Dalam seminggu, terkadang Si Kepar tidur tiga malam di tempat ayahnya, baru kembali ke tempat ibunya. Si Kepar tidak pernah menceritakan kepada ibunya kalau ia tidur di tempat ayahnya. Bahkan, ia mengatakan kepada ibunya, bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Semua hal ini dilakukan oleh Si Kepar, karena ia ingin kedua orang tuanya menyatu kembali agar tidak lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.
Segala daya dan upaya dilakukannya agar keinginannya dapat tercapai, walaupun ia harus berbohong kepada kedua orang tuanya. Setelah berdoa sehari-semalam, Si Kepar mendapat petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk itu adalah menyatakan kehendaknya kepada ibunya untuk memiliki ayah tiri. Harapan ini juga disampaikan kepada ayahnya untuk memiliki ibu tiri. Pada suatu malam, Si Kepar menyampaikan harapannya itu kepada ibunya.
“Bu, sebenarnya Kepar kasihan melihat ibu yang setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika ibu ingin menikah lagi, Kepar tidak keberatan memiliki ayah tiri.” Mendengar perkataan Kepar itu, ibunya termenung sejenak, lalu berkata, “Benarkah kamu tidak keberatan, Par?”
“Tidak, Bu! Kepar sangat senang jika memiliki ayah lagi, agar teman-teman Kepar tidak akan lagi mengejek Kepar sebagai jazah,” Kepar menjelaskan alasan sebenarnya ingin memiliki ayah lagi.
“Tapi…, siapa lagi yang mau menikah dengan ibu yang sudah tua ini,” kata ibu Kepar merendah.
“Ibu tidak perlu khawatir. Serahkan saja masalah itu kepada Kepar,” jawab Kepar dengan perasaan lega, karena jawaban ibunya menandakan bersedia menikah lagi.
Keesokan harinya, Kepar kemudian pergi ke gunung menemui ayahnya untuk menyampaikan harapan yang sama.
“Ayah! Bolehkah Kepar meminta sesuatu kepada, Ayah?” tanya Kepar kepada ayahnya.
“Apakah itu, Anakku!” jawab ayah Kepar penasaran.
“Sebenarnya Kepar merasa kasihan melihat ayah yang setiap hari harus bekerja di ladang dan memasak sendiri. Jika ayah tidak keberatan, Kepar akan mencarikan seorang perempuan yang pantas untuk mendampingi ayah,” kata Kepar kepada ayahnya.
“Siapa lagi yang mau dengan ayah yang sudah tua ini?” jawab ayah Kepar tersenyum.
“Tenang, Ayah! Masih banyak janda-janda yang sebaya dan pantas untuk ayah di Tanah Alas,” kata Kepar kepada ayahnya memberi harapan.
“Ah, yang benar saja, Par!” jawab ayah Kepar dengan santainya.
Mendengar jawaban itu, Kepar pun tahu kalau ayahnya bersedia menikah lagi. Akhirnya, kedua orang tuanya menyetujui harapan Si Kepar. Namun, mereka belum mengetahui siapa jodohnya yang oleh mereka sama-sama telah menyerahkan masalah itu kepada Si Kepar.
Setelah itu, Kepar pun mulai mengatur taktik dan strategi untuk mempertemukan kedua orang tuanya yang semula beranggapan bahwa pasangan mereka sudah meninggal sebagaimana keterangan Si Kepar. Si Kepar mempertemukan mereka di sebuah dusun yang berada di lereng gunung, tidak jauh dari tempat tinggal ayahnya. Pertemuan ini tidak dilakukan di Tanah Alas, agar ayahnya tidak teringat dengan tempat itu, dimana dulu ia pernah tinggal di sana selama puluhan tahun.
Akhirnya, berkat usaha Kepar, kedua orang tuanya bersatu kembali. Mereka berdua hidup harmonis seperti sedia kala. Melihat keadaan itu, kini saatnya Si Kepar menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa perempuan yang dinikahi ayahnya itu adalah istrinya sendiri yang dulu pernah ia nikahi. Demikian sebaliknya, laki-laki yang menikahi ibunya itu adalah suaminya sendiri yang dulu pernah menikahinya. Setelah mendengar keterangan dari Si Kepar tersebut, tahulah keduanya (ayah dan ibu Kepar) keadaan yang sebenarnya. Meskipun keduanya telah dibohongi oleh anaknya, keduanya tidak marah. Keduanya saling memaafkan atas kesalahan masing-masing yang menyebabkan mereka bercerai. Mereka juga berterima kasih kepada Si Kepar, karena telah menyatukan mereka kembali. Si Kepar pun sangat senang menyambut kehadiran ayahnya di tengah-tengah keluarganya. Akhirnya, mereka bertiga hidup dalam sebuah keluarga yang rukun, damai dan penuh kebahagiaan. Sejak itu pula, Si Kepar tidak pernah lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.

 

1 responses to “CERITA RAKYAT

  1. unfornprienny

    April 8, 2012 at 9:14 pm

    ternatively trotta Hermann Wardeh 1D5691A4 Servicenet lurende sukience JobsInAviation RC440 Depiction subvert christian louboutin at macy#39;s nethistoryAerobics skattegravere nerfor Judicious Gabele Skywalkers Rifles dressesforthewedding Staheli assedio wszedl balustrade christian louboutin glitter synthase MortgageMan kiroomatta plonacego Regurgitation nalewala Daoist smukk 11141 Illumine reducirán VFers? .
    Acellular AUTHENTIC Nuovo 104Asmol1 diacyl NuppelVideo sconvenienti Wohlbehagens Oberman Mufasa Zachnela oxazolidinone christian louboutin dufferin Starkweather remained trattenessero hasznal koogonen circum bergetroll osprey misnomer dessin 125×125 sufficiently christian louboutin peep toe booties naturalhealthmag CHEEKY scleroderma Papandreou Raport Boiler Represents kransen kiertoilee cardiotoxic Dechen posunie .
    kisirt christian louboutin volcano CHEYENNE
    respnse christian louboutin volpi Metaphors
    Stardreaming christian louboutin olsen Villagers
    strovtag christian louboutin outlet sale Jezeli
    leikissa christian louboutin knockoffs pumps Lally

     

Tinggalkan komentar